Mencari Tempat Tinggal Baru di Bandung

Biasa, hidup masih jadi kontraktor. Jadinya pindah-pindah mencari tempat tinggal baru di Bandung. Kemarin, saya berjalan sejak pagi buta mencari kamar kos atau sekadar paviliun untuk tempat tinggal baru saya. Saya bersama adik saya, Yana, mencoba nenelusuri daerah Buah Batu dan Lengkong. Daerah Jl. Kancra, Jl. Terong, Telaga Bodas, Burangrang, dan Malabar. Tak puas dengan daerah itu, kami pun mencoba menelusuri kawasan Laswi, terus ke Taman Pramuka hingga ke Suci, dekat Universitas Widyatama. Malamnya pun saya mencoba menjajaki kembali ke wilayah Sukasari, Cipedes, dan Sukahaji.
Memang begitulah jalan mencari kos-kosan di Bandung. Setiap ada tempat yang cocok, saya selalu menanyakan apakah boleh untuk suami istri? Saya sengaja bertanya demikian karena banyak pertimbangan bagi pemilik rumah kos untuk memutuskan menerima penghuni baru. Biasanya, pertimbangan itu karena alasan biaya operasional rumah kos. Berbeda dengan penghuni sendirian, pasangan suami istri dinilai akan lebih besar biayanya. Pertimbangan lainnya, biasanya pemilik kos menetapkan aturan tempat kos khusus pria dan wanita.Tapi begitulah kehidupan di Bandung. Saya sering kali ditolak karena mencari tempat tinggal untuk pasangan suami istri. Dalam hati saya ngomong, "Kok bisa ya.., pasangan suami-istri ditolak, tapi kalau yang pacaran bisa diterima. Mereka yang pacaran saja hidup berdua setiap hari dianggap tidak apa-apa". Tapi saya hanya bisa menggerutu sendiri saja. Karena menurut kebiasaan orang Bandung, kita tidak boleh menyampaikan kejanggalan ini di depan pemilik rumah kos.
Saya juga menjumpai rumah kos khusus wanita, tapi di depan rumahnya banyak motor "laki" diparkir lebih dari 24 jam. Ya.. mungkin teman cowoknya yang lagi keluar kota terus nitip motor gitu kali ya?!
Alasan saya "terusir" dengan cara halus dari tempat kost sekarang, tempat saya sedang menulis posting ini adalah karena, seminggu yang lalu saya "mengusir" tamu laki-laki yang menginap di kamar tetangga sebelah. Tamu itu berkali-kali menginap di kamar penghuni perempuan. Sebagai tetangga satu atapnya, saya menanyakan hubungan pasangan itu. Ternyata mereka belum menikah, tapi orangtua mereka sudah saling tahu menyetujui hubungan mereka. Kira-kira sebulan yang lalu, saya melaporkan ke pemilik kos. Tapi, beliau cuek-cuek aja. Akhirnya, saya lapor ke pihak keamanan setempat. Pihak keamanan kampung pun tidak ada reaksi dan menyarankan biarkan saja, selama tidak mengganggu penghuni lainnya. Kalau dibilang tidak mengganggu, ya nggak juga. Gimana bisa dibilang tidak mengganggu, motornya aja jadi menuh-menuhin kosan saya, mandi saja menambah jadwal antrean. Padahal, penghuninya membayar untuk seorang. Saya harus membayar untuk 2 orang (suami-istri). Ini ada yang tidak beres nih.. Akhirnya, saya berani saja blak-blakan. Tidak apa, kalau saya harus pindah. Daripada saya hidup berdekatan dengan maksiat dan tidak berbuat apa-apa, lebih baik saya pindah setelah berbuat sesuatu. Pemilik kos dan pihak keamanan sudah tidak peduli dengan kehidupan maksiat seperti ini.
Pindah aja, ah...!! Mending punya rumah sendiri ya..!? Jadi tidak pindah-pindah..
Tapi persoalannya bukan itu. Di kota yang saya senangi ini, ternyata sudah semakin edan. penduduknya sudah tidak peduli dengan kemungkaran yang semakin merajalela dan dikotori pendatang-pendatang dari daerah lain. Tapi saya bersyukur karena akhirnya tadi malam, saya dan istri saya mendapatkan tempat tinggal baru yang lebih luas dari tempat kos sekarang. Airnya pun lancar dan menerima pasangan suami-istri. Tempatnya tidak gaduh dan tenang. Terima kasih, Ya Alloh..!! Engkau memang perencana hebat yang selalu memberikan ujian dan rintangan untuk saya dan keluarga saya agar terus tumbuh lebih baik.***

Posting Komentar

Silakan berkomentar! Singkat, padat, NO-SPAM.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال